Tanpa menoleh kebelakang saya bisa merasakan ada mobil yang mengikuti saya dengan pelan. Saya melihat posisi saya bersepeda dan saya merasa tidak terlalu berjalan ketengah. Mobil itu perlahan maju dengan posisi sejajar dengan sepeda. Saya melirik. Mobil sedan BMW berwarna hitam. Tak lama kacanya diturunkan. Dari dalam mobil seorang pria sekitar 50 tahun tersenyum sambil mengangkat jempolnya.
“Dari mana mas?” tanyanya.
“Dari Makassar Pak.” Jawab saya singkat
“mantap….mantap” ujarnya sambil tersenyum.
Tak lama kemudian mobil itu melaju meninggalkan saya. Gerbang kota Jogja didepan mata. Dengan semangat saya terus mengayuh.
Perjalanan hakikatnya berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Namun kadang kita tidak membuatnya menjadi sesederhana itu. Tata cara perjalanan dibuat memiliki kasta selayaknya sistem sosial yang ada di masyarakat. Mereka yang senantiasa bepergian dengan kelas bisnis, tidur di hotel yang bintangnya berderet dianggap sebagai orang orang yang berada di puncak piramida. Kasta tertinggi. Sedangkan mereka yang berpergian seadanya. Angkutan yang termurah. Tidur di motel yang murah bahkan kadang membawa tenda sendiri untuk berhemat. Mereka sering dianggap sebagai penghuni kasta terbawah.
Saya termasuk orang yang tidak terlalu mau di pusingkan dengan kasta-kasta tadi. Sebab yang utama dan penting bagi adalah apa tujuan utama perjalanan itu sendiri. Ketika saya akan melakukan presentasi penting di kota lain, dimana saya butuh untuk berkonsentrasi dan tidak memusingkan banyak hal. Saya akan mencari hotel yg cukup nyaman. Tentu saja jika budget-nya cukup. Setidaknya di sana saya bisa membaca ulang dan sedikit berlatih materi yang akan saya bawa. Namun jika hanya traveling biasa dimana tempat yang saya butuhkan hanya untuk tidur beberapa saat dan kemudian melanutkan perjalanan. Motel yang sederhanapun bukan masalah. Bahkan sekali waktu saya pernah membawa tenda. Sekali lagi tergantung dari tujuan perjalanan itu sendiri.
Salah satu bentuk perjalanan yang saya senangi adalah bikepacker. Bikepacker adalah penggabungan istilah biking dan backpacker. Backpacker adalah melakukan perjalanan jauh dari satu kota ke kota lain bisa dinegara sendiri atau ke kota di negara lain dengan biaya yang ditekan se-irit mungkin. Biasanya barang yang dibawa mengunakan ransel yang digendong di punggung. Perjalanan dilakukan dengan berbagai moda transportasi seperti pesawat udara, kereta ataupun bus bahkan sepeda. Semua rencana itu disusun sebelumnya dengan banyak mengali data serta survey yang mendalam.
Bikepacker adalah salah satu cara termurah menikmati perjalanan. Bagaimana tidak murah, alih-alih mengeluarkan ongkos naik kendaraan umum,sepanjang sepeda siap, alam mendukung dan kaki mau diajak mengayuh maka perjalanan akan terus berlanjut.
Bikepacker ke Jogja. Tidak lupa berfoto di spot wajib ini.Enaknya bikepacker adalah tidak ada tuntutan ketepatan waktu atau atau target waktu tempuh, jadi kita bersepeda semampunya saja, sekuatnya saja, kalo capek tinggal parkir leyeh-leyeh. Sepedaan benar-benar santai, Kalau lihat ada pematang sawah yang bagus banget landscape-nya, tinggal langsung parkir sepeda dan foto-foto, atau saat panas mendera dan melihat pedagang kelapa muda, langsung merapat dan bersantai menikmati kelapa muda sambil menunggu matahari bersahabat.
Saya mendapat undangan acara bersepeda dari komunitas sepeda group kantor. Rencana acaranya akan diadakan di Jogja. Karena jenis sepeda yang dipakai tidak ditentukan, maka saya berencana menggunakan sepeda lipat. Pertimbangannya, sepeda lipat dapat dimensinya cukup kecil sehingga cukup mudah untuk dibawa. Kedua, lebih praktis. Membawa sepeda jenis lain menggunakan pesawat kita diharuskan menggunakan tas sepeda atau minimal dimasukkan ke dalam kardus. Hal itu cukup menjadi beban selain karena dimensinya cukup besar, masih harus memikirkan penyimpanan tas/kardusnya nanti. Sementara dengan sepeda lipat bisa menggunakan layanan wrap plastik yang biasanya ada dibandara. Sesampai di kota tujuan bisa dilepas dan sepeda bisa langsung dipakai.
Hari memulai perjalanan pun tiba. Saya kembali mengecek kembali semua perlengkapan sebelum berangkat. Perjalanan pun dimulai dari rumah menuju Bandara Sultan Hasanuddin. Begitu memasuki area parkir bandara, beberapa orang memperhatikan saya. Sebelum melipat sepeda saya sempatkan dulu berfoto di depan bandara untuk kenang –kenangan.
Kenang-kenangan dulu sebelum berangkatSepeda lipat dimensinya setelah dilipat hanya sebesar koper travel sehingga tidak terlalu mencolok. Petugas bandara mengingatkan saya agar mengempeskan bannya dulu sebelum dibungkus wrap. Ban sepeda yang tidak dikempeskan bisa meledak karena perbedaan tekanan udara di pesawat. Selama proses keberangkatan tidak ada kendala terkait barang-barang yang saya bawa. Sepeda dan pannier – (Tas untuk membawa barang yang biasanya diletakkan di belakang sepeda) dimasukkan ke bagasi. Sedangkan helm dan peralatan elektronik, saya masukkan ke tas kecil untuk dibawa ke kabin.
Pesawat mendarat di Jogja. Kami pun antri mengambil bagasi. Setelah bagasi datang, saya mendorong sepeda yang masih terlipat keluar. Di sebuah sudut yang tidak terlalu ramai, saya membongkar semua wrapping dan memasang ulang kembali sepeda. Beberapa orang penumpang berdiri memperhatikan dari proses awal hingga sepeda dan pannier terpasang. Seorang bapak malah datang dan bertanya panjang lebar terkat apa-apa saja yang dibutuhkan untuk membawa sepeda ke pesawat.
Pompa ban yang saya bawa dari Makassar tidak begitu bagus. Tekanan anginnya kurang. Tak jauh dari gerbang Bandara Adi Sucipto Jogja terdapat SPBU. Untungnya SPBU tersebut menyediakan sarana pompa ban gratis. Karena perut agak lapar, selesai memompa ban, saya menikmati semangkuk bakso yang saat itu sedang mangkal di SPBU. Beberapa foto saya kirimkan group latihan.
“Kere amat tripnya” canda seorang teman.

Isi tenaga sebelum mulai gowes
Hampir dua minggu sebelum berangkat saya sudah memesan hotel. Harganya lumayan murah karena dapat diskon. Lokasi hotel ini pun jaraknya cukup dekat dengan venue kegiatan saya esok harinya. Karena jarak hotel dari bandara hanya 8 km saya memutuskan untuk keliling-keliling Jogja dulu. Jogja memang surganya buat pesepeda. Ada jalur khusus yang disediakan untuk pesepeda. Bahkan di Trafic Light pun, para pesepeda diberikan spot khusus. Saya sangat iri, kapan ya kota Makassar bisa punya jalur khusus pesepeda seperti ini. Para pengguna kendaraan bermotor yang lain pun disiplin, jarang sekali ada yang menggunakan jalur untuk sepeda.
Hari menjelang maghrib, saya tiba dihotel dan beristirahat.

Setelah bersepeda, menikmati kopi di angkringan
Selama di Jogja saya mengunjungi banyak destinasi wisata. Total jarak yang ditempuh selama dua hari diatas 100 km. Serunya bikepacker adalah kita bisa lebih fleksibel mengatur jadwal sendiri bahkan mengubah jalur ataupun tujuan sekehendak hati. Kisah perjalanan selama di Jogja akan saya tuliskan di postingan yang lain.
Candi Ratu Boko Kayaknya tidak sah kalo tidak foto disini Nah… Tolong jangan dimaknai macam-macam yaJadi apakah kamu tertarik untuk mencoba Bikepacker?
Tojeng …. caption foto terakhir, permintaan tolong agar tidak dimaknai macam-macam, saya ndak mengerti, Daeng. Jadi, apa yang bisa saya tolong ya?
Oya, hampir ma’ galfok. Nyamannya kehidupan kalo berpikiran seperti kita’. Santai, mengalir, nikmati. Keep writing, Daeng. Akan banyak bikepacker yang mengikuti jejaknya.
Foto yang terakhir itu punya makna bagi beberapa orang kak
wah mau dong kayak Om Adda.. etapi lepas dari Sarkem, lutut masih bisa menggayuh kah, Om? 😀
Bisa dong. Memangnya saya habis ngapain ? hahahahaha
Keliling Jogja pake sepeda sendiri seruuu. Tuh Candi ratu boko dari dulu mau banget kesitu tapi belum sempat hiiiks..
Seru.. harus dicoba tuh Kak
Waah serunya, jalan-jalan bersama hobbi double happy ya kak. Langsung dilupa utang yang sudah dibayar.
Yayaya.. utang yang sudah dibayar kadang-kadang perlu diingat Kak. Sapa tau di tagih dua kali
Lucunyyaaa foto pembukanya kkaaaak hahah salfok ka, kayak penari balet XD daaann foto terakhi r harus saya maknai apa?! Lol
Dulu, saya pernah ke toraja dan ketemu sama bapak-bapak yang juga naik sepeda, trus dia minta saya fotoin. sempat cerita-cerita, katanya sibapak suka sekali berkeliling kota dan mengunjungi kota lain, lalu berjalan-jalan dengan sepedanya. kebiasaan itu yang buat dia selalu merasa muda 😀
Sesuai dengan judulnya. Berusaha tampil kere(n)
betul sekali, kalau jalan-jalan pake sepeda sangat menghemat pengeluaran, apalagi bisa merubah rute sesuka hati hahah. Pengen sih cobain ajdi bikepaker, apalah daya tangan tak sampai hehehe.
semangat kak, terus menginspirasi dengan bikepakernya
Tidak ada salahnya di coba Kak
Jadi penasaran, kak pernah merasa ribet tidak sih harus bawa bawa sepeda setiap kali travelling/bikepacker?
Ndak juga. Malah lebih mikir mau bawa apa kalo travel, soalnya kebanyakan barang bikin susah juga
Wah daebak baru ka tau ternyata sepeda boleh masuk pesawat juga yah asalkan penggunanya tau T&C nya. Tapi keren karena bisa bersepeda keliling Jogja yang ternyata lagi2 baruka tau ada jalur khusus pengguna sepeda. Btw foto terakhir maksudnya apa yah kakkk saya nda ngerti? :”)
Foto terakhir maknanya bisa diketahui oleh hanya sebagian orang
Wah serunya itu sepeda diajak jalan-jalan. Diajak foto di spot yang keren. Senangnya mi itu sepedanya, Daeng.
Btw, sehat selalu Ki!
Makasih Kak
Aduh aduh, om Adda jangan menebarkan racun baru doong. Sempat merasakan menjelajah Selayar dengan sepeda, memang rasanya beda!
*summon kak anchu untuk trip ini*
Mau dong di racun supaya ke Selayar
Seumur umur belumpi pernah saya traveling naik sepeda? mungkin karena umur saya masih seumur jagung hehe. Pasti paling enak memang jalan-jalan dengan sepeda karena bisa singgah di spot spot foto yg kita mau dgn gampang?
Ayo di coba
Seru juga yaa, apalagi barena anak-anak dan mereka udah bawa sepeda kecilnya masing-masing. Sepeda ini alat transportasi yang bagus banget, selain ramah lingkungan juga bisa sekalian olahraga.
Jadi ingat, waktu awal-awal kulian di Mataram sini saya pakai sepeda PP rumah ke kampus. Soalnya jarak rumah ke kampus itu nanggung sekali. Mau jalan kaki, kejauhan. Pakai taksi, kok kayaknya sayang uangnya..gak jauh-jauh amat sih. Taksi, karena di sini angkot susah..adanya jalur pasar ke pasar saja. Motor juga waktu itu belum punya. Jadi deh saya pakai sepeda.
Wah seru juga bernostagia dengan sepeda
Saya teringat salah satu guruku waktu sekolah,dia dokter bedah. Suka sepedaan juga, sepedaan sampai ke lombok, sampai ke bulukumba. umur sama postur jauh beda ahaha. Tebakanku Kayaknya udah kepala 50an sih tapi fisik dan postur masih kayak 30an.. keren sekali 😀
Kayaknya saya kenal itu guruta
Tapi capek juga di’ kak klo pake sepeda lipat divanding sepeda gunung, pernah coba keliling mks pke sepeda lipat capek menggayung heheh… tapi kembali lagi bahwa menikmati tanpa ada waktu yang dikerjar… aishhh sukaa sekali…
Memang lebih banyak kayuhannya kalo sepeda lipat
Saya pernah mencoba pakai sepeda berangkat kerja. Tapi karena di desa jalannya naik turun, baru tiga kali badan sakit semua. Alhasil pake motor lagi. Sekarang hanya pas hari Minggu saja pakai sepeda. Itu pun jarang-jarang hehe…Salam kenal dari anak desa Daeng?
Salam kenal Mas bro. Tetap sehat ya
Selalu suka tulisan2 daengadda tentang sepeda. Sarkem atau Malioboro? Surga dunia tau surga belanja? hahaha 😀
Yang penting enak hahahhaa