Air berwarna kecoklatan mengalir tenang, beberapa batang kayu dan rerumputan hanyut bersamanya. Kami menyebutnya ledeng. Sebutan yang mungkin kurang pas untuk saluran irigasi. Ledeng lebih pas untuk pipa air minum. Kanan dan kirinya adalah urugan padat dari tanah yang tinggi. Selain sebagai dinding tanggul saluran juga berfungsi sebagai jalan. Sebagian sisinya di tutupi oleh pasangan batu kali. Diatas tanggulnya tumbuh rumput yang subur. Beberapa ekor sapi di gembalakan diatasnya. Di masa kecil, saya suka sekali bersepeda melewati tanggul-tanggul itu. Terutama ketika menjelang senja. Cahaya mentari yang kemerahan memantul di atas air, berpadu dengan pemandangan petak-petak sawah yang luas.
Saya menghabiskan masa kecil di kampung yang berjarak 186 km dari kota Makassar. Sebuah kecamatan bernama Baranti di Kabupaten Sidrap. Tempat kami terkenal dengan daerah penghasil beras dan telur. Sebagai salah satu sentra penghasil beras terbesar di Sulawesi Selatan maka saluran irigasi penjadi pemandangan lazim ditemui. Di sisi saluran irigasi inilah tempat kesukaan saya bersepeda.
Bercerita soal sepeda, semasa kecil saya memiliki sebuah sepeda BMX. Sepeda itu adalah hadiah dari orang tua karena rangking 1 ketika naik ke kelas 2 SD. Sebenarnya saya tidak terlalu menyenangi bentuknya. Sepeda BMX dengan boncengan belakang dan lengkap dengan spakbor _ penahan lumpur. Menurut saya dua benda itu membuat sepeda itu tidak terlihat macho.

Kenangan masa kecil di kampung begitu indah. Dari sekian banyak momen, momen paling indah tentu saja adalah momen lebaran. Momen Idul Fitri adalah momen yang paling ramai. Suasana kampung cukup ramai karena momen mereka yang merantau atau belajar atau bertugas di luar daerah untuk pulang.
Momen satu lagi adalah Idul Adha. Walaupun tidak seramai Idul Fitri namun tetap saja semarak. Setelah Shalat Ied ada pemotongan hewan korban. Semasa kecil saya suka dapat jatah testikel sapi yang telah dipotong. Setelah disembelih, daging sapi dipotong-potong kemudian di bagi berdasarkan kelompok hewan kurbannya. Tugas saya selanjutnya adalah membawa daging dan tulang tersebut dirumah, nanti di rumah daging dan tulang itu dipotong lagi lebih kecil, lalu ditimbang kemudian dilanjutkan dengan membagikankan potongan-potongan daging tersebut. Tradisi di kampung kami tidak menggunakan kupon seperti di daerah lain. Melainkan kami membawa sendiri daging-daging tersebut ke rumah-rumah yang akan diberikan.
Selain kenangan, kampung saya di Sidrap memiliki banyak tempat menaik juga untuk dikunjungi. Disana ada pembangkit listrik tenaga angin yang pertama di Indonesia. Kincir-kincir angin yang mirip di negeri Belanda. Kincir-kincir tersebut di letakkan di atas bukit. Menuju ke kincir angin saja pemandangannya sudah indah. Rumah-rumah khas bugis dari kayu dengan bentuk atap yang khas. Melewati perkebunan hingga sampai ke puncak bukityang terdapat kincir angin.

Di kampung saya juga sudah ada beberapa Waterboom. Salah satu yang terbesar adalah puncak Bila Sidrap yang memiliki ciri khas sepeda yang berukuran besar. Belum lagi wisata kuliner dan pemandangan indah berupa persawahan. Soal destinasi wisata sepertinya sudah paket lengkap menurut saya. Tempat wisata ada, bisa bertemu dengan keluaga dan bisa menikmati alam yang indah.
Sudah cukup lama saya tidak pulang ke kampung. Kesibukan pekerjaan setiap hari cukup menguras tenaga dan waktu. Hingga kemudian kemudian saya menengok kalender dan memutuskan keluar sejenak dari rutinitas sekaligus menunaikan hobby yang lama. Bersepeda ke kampung akhirnya menjadi pilihan. Dengan jarak 186 km butuh waktu seharian di jalan untuk mencapai kampung dengan sepeda. Pilihan waktu cukup beragam. Bisa memanfaatkan weekend yang sedikit lowong, beberapa hari libur seperti hari raya idul adha 2019 juga adalah pilihan yang tepat (untuk Idul Fitri saya tidak menyarankan selain karena sedang puasa, lalu lintas biasanya cukup ramai)
Baca juga : Seni Bertualang Sendiri
Menggunakan sepeda ke kampung sudah beberapa kali saya lakukan. Namun tentu saja yang paling berkesan adalah pengalaman pertama bersepeda ke kampung sorang diri. Saat itu saya sedang mempersiapkan diri bersepeda untuk bersepeda menuju toraja. Selain sebagai sarana latihan, saya juga memiliki beberapa hal yang harus dilakukan di kampung.
Baca juga : Catatan dari Toraja: Segelas kopi dan sebuah rencana perjalanan
Untuk bekal dan perlengkapan, tidak terlalu banyak. Beberapa ban cadangan, pakaian ganti, perlengkapan sepeda. Untuk makanan hanya terdiri beberapa batang cokelat toh rute yang dilewati cukup ramai dan banyak toko dan warung. Cukup siapkan saja uang untuk membeli makanan dan minuman jalan. Karena saya menggunakan sepeda balap dan tidak memiliki pannier-tempat penyimaban barang, barang-barang tersebut saya masukkan ke dalam tas ransel kecil. Tas yang biasa saya pakai untuk hiking.
Hari cukup cerah ketika saya meninggalakan Kota Makassar, malah cenderung panas. Bersepeda dalam udara panas butuh sedikit trik tertentu. Selain itu udara panas cenderung membuat kita gampang dehidrasi bahkan gampang keram. Teknik bersepeda di udara panas sebahagian telah saya tulis di postingan saya yang lain.
Baca juga: Dari Losari hingga ke Seruni dan kenangan bersamanya
Karena tidak sempat sarapan saya singgah sarapan sejenak menikmati Roti Maros. Roti Maros sejak dulu memiliki banyak peminat. Bentuknya sederhana seperti roti pada umumnya, yang menjadi berbeda adalah isiannya yang khas. Apalagi isiannya cukup tebal dan manis. Untuk penggemar makanan manis wajiblah mencoba roti satu ini. Roti Maros juga biasanya adalah oleh-oleh untuk dibawa untuk menyenangkan keluarga dan teman. Penjual Roti Maros cukup banyak tersebar sepanjang jalur di Kabupaten Maros.
Udara semakin panas ketika saya memasuki Kabupaten Pangkep. Namun sarapan roti maros cukup membuat saya memiliki cukup tenaga untuk tetap mengayuh. Di Pangkep saya sempat singgah sejenak mengisi air minum di mini market. Sebuah tantangan tersendiri mengayuh di sepanjang jalan di pangkep. Area terbuka di sisi kiri dan kanan yang berupa tambak cukup membuat tenaga terkuras. Namun keindahan pemandangan berupa tambak dan sawah dan pegunungan membuat kelelahan sedikit terlupakan.
Hujan deras di sepanjang jalan Barru. Hujan membuat saya lupa untuk minum. Enam kilometer sebelum perbatasan Kota Pare-Pare, keram dikaki saya tidak tertahankan lagi. Saya menepi dan menjatuhkan diri di rerumputan karena sudah tidak sanggup lagi membuka cleat– pengunci pedal kaki. Syukurlah semua aman, setelah minum cukup banyak dan beristirahat saya bisa melanjutkan perjalanan kembali.
Saya menikmati semangkuk bakso dan kopi hitam ketika sampai di Pare-Pare, Perjalanan Pare-Pare menuju Sidrap akan menguras tenaga karena medan yang dilewati berupa tanjakan dan turunan. Belum lagi kondisi jalan yang tidak selebar jalan poros Makassar –Pare-pPare membuat kita harus waspada dengan kendaraan lain.

Setelah menempuh perjalanan hampir 8 jam diatas sepeda, akhirnya sampai juga saya di kampung halaman. Ada rasa syahdu didalam hati. Bersyukur saya bisa merasakan pengalaman bersepeda menuju kampung dan bersyukur bisa menyelesaikan pengalaman ini dengan selamat.
Kerinduan dan kenangan atas kampung halaman hari itu terbayar sudah.
Naik motor atau mobil dari Makassar ke Parepare saja udah bikin pegal apalagi naik sepeda. Tapi kalau memang udah bertekad dan punya stamina yang kuat gak masalah. Malah bisa jadi kenangan yang berkesan ya kak.
Btw saya baru tahu klu PLTA di belakang rumah itu merupakan pembangkit listrik tenaga angin pertama di Indonesia. Sengaja saya bilang di belakang rumah karena baling-balingnya di tempat tinggal saya di Pare2 ini bisa kelihatan dengan jelas.?
Yip klu lewat pare2 memang medannya paling berat ya karena berbukit-bukit udah gitu jalanannya nggak lebar pula?
OO.. Orang Pare-pareki pale Kak. Kalo kelihatan baling-baling dari belakang rumah saya sedikit bisa mengira-ngira posisi rumah ta
Senangnya tawwa daeng Adda main sepeda2an di kampung. Mudah2an mmg karena jalan sdh baik
Saya dulu waktu msh kecil di Wajo, tetangga Sidrap, nda pernah kebayang bisa naik sepeda krn jalannya yg berlumpur. Nabilang orang Bugis… “mabbungka lalengna”.. Hehe
Tp mudah2an skrg sdh mulai rapi dan keras jalannya seperti di kampungta dg Adda. Amin
Makasih sdh berbagi yaa
Masa kecil memang Indah Daeng, Selalu membawa senyum dan “cawa-cawa cabbiri” kalo dingat-ingat
Pencapaian tertinggi ku saat gowes dari kintamani ke uluwatu untuk skala luar kota dan kanre apia-bili bili… Kamma kamma anne gantung speda dulu om krn urus baby?
Wah kalo rute begini sih sudah petouring hahahaha
Bagaimana mi rasanya betista itu Daeng bersepeda 200 km? Tapi apalah arti rasa lelah dibanding rindu yang menggebu dengan kampung halaman beserta cerita seru dengan kawan sepermainan waktu kecil.
Rasanya Betis? Pegal poll. Tapi sebandinglah dengan rasa di hati
pada paragraf awal saya merasa ‘kok kayak akrab yah dengan apa yang digambarkan’ ternyata sikampong ki hahaha. karena PLTB itu, sekarang ada alasan untuk pulang kampung, ‘macekke ni kampong ta, engka na kipas anginnna malompo’ 😀
Si Kampongki Pale. Macekke tongengni Kampongge
Daeng Adda, apa mi itu kita pikir sambil menggayuh sepeda selama 8 jam? Tapi sepertinya itu mi waktu kontemplasi yang pas ya, sambil menikmati alam walaupun poso
Saya belum dapatkan kenikmatan bersepeda sehingga bisa terkesan addicted seperti itu, ya mungkin karena saya kurang suka naik sepeda, cepat poso haha
Banyak sa fikir Mam. Sudahji di kasi makan ikanku? Endak dipotongji itu ayamku? sudahma bayar listrik? tapi kalo mulaimi poso dilupa semuami hahahha
Duh, yang saya bayangkan, apa kabar betis menggenjot sepeda sampai lebih 180 km? Kampung memang selalu memikat, meski menempuhnya naik sepeda.
Tapi kalo terbiasa kayak Daeng Adda, nda bermasalah ji kapang dih betisnya?
Kadang tak perludibayangkan kak. tapi dilakukan
Tidak pecahji betista mengayuh sepeda selama 8 jam? Membayangkannya saja sudah tidak sanggup rasanya. Tapi selagi niat, seberat apapun medannya pasti dilalui.
Yang bikin semangat saat mengayuh menuju kampung halaman, kenangan masa kecilnya terbayang dalam ingatan seperti slide yang berganti *sotta*
Kuatji lemnya betisku kodong ndak sampai pecahji.
Mantap om tulisannya. Penuh dengan deskripsi yang bisa membawa pembaca ikut membayangkan suasana. Hanya sedikit kekurangan pada penempatan “di” yang kadang terbalik. Harusnya dipisah malah disambung, harusnya disambung malah dipisah. 😆
Oh iya ada satu kekurangan lagi. Mungkin sebaiknya diceritakan juga bagaimana reaksi orang-orang di kampung ketika tahu Daeng Adda bersepeda sejauh 186 km. Ini bisa jadi ide untuk tulisan berikutnya.
“Apa Kata Mereka Melihat Saya Bersepeda”
Kelemahanku ini memang soal “di” daeng. Kadang kalo sudah asik menulis malah lupa
Weeww.. gak sanggup ma kalo saya hahaha. Naik motor saja pulkam ke Parepare sakit pantat ku wkwkwkw.
Btw, Mamaku asli Sidrap juga tapi di Buae, Paceku orang lainungan. Sering ka juga main ke sidrap apalagi kalo habis lebaran karena banyak keluarga ditempati makan Palekko hehehehe
Hati-hati balik Makassar daeng
siap. Banyak pale orang sidrap yang suka menulis blog
Makassar ke Pare-Pare??? dengan sepeda? waduh, luar biasa kak Adda. Next, saya penasaran kak Adda apa kuat juga gak yah kayuh sepeda jauh – jauh di Kalimantan yang notabenenya walau gunungnya sedikit tapi bukitnya ribuan?, Hehe Wajib coba di Kalimantan juga kak Adda. Oh iya, memang keren sih kak Adda dari kecil yang entah zaman tahun berapa, udah punya BMX? hehe
Wah! Kalimantan wajib dicoba tuh
Bersepeda sampai ke Sidrap? Luar biasa. Pilihan yang rumit bagi pekerja sibuk. Hehehe….Sidrap juga kampung suami saya kak. Sidrap itu kota dingin, banyak angin dan dekat sekali yah dari Pare-Pare. Ada keluarga juga tinggal di Baranti, siapa tahu tetanggaan.
Memanfaatkan hari libur atau weekend bisa Kak
Di Sidrap kampung ta di ?. Enaknya itu makan palekko atau cuwiwi di pematang sawah di sana. Deh langsungka ngiler bayangkan ki. Btw, enak sekali dibaca tulisan ta, mengalir dan deskriptif ki.
Eh… Enak memang itu Palekko apalagi kalo pediski
Astagaahh ommmmm… Ke sidrap naik sepedaaaa?? Baca saja saya sudah ngos-ngosan. 8 jam ngayuh ckckck. Etapi saya suka baca ini, jadi terobati sedikit kangenku sama sidrap. Saya lahir di sana soalnya hihihi.
Di Sidrap manaki?
Nah kan naik sepedaan lagi kekampung, woww mmg dg adda ini stiap tulisan pasti ad speda ksayangannya muncul hihii..
oh iya om, sy ada award buat dgadda nih di postingan terakhir saya
http://mydaypack.com/liebster-award-finding-bloggers/