“Sosok jasad terbujur kaku di meja yang sengaja diletakkan dipelataran Mushalla. Terbaring dalam hening. Tampak agung walau tersungkur bergenang darah mengering dari luka menganga yang bola matanya raib tercabut dari tempatnya. Tubuh berperawakan sedang namun berisi itu menjadi saksi bisu kekejaman tangan-tangan yang pernah mendera, penuh lubang peluru dan cabikan bayonet. Tulang kepala berambut ikalnya retak, terdera popok senapan. Satu… dua… tiga… jari-jari sang jasad tak lagi lengkap, hilang sebagian. Jari-jari itu biasanya lincah memetik ukulele, melantunkan nada merdu”
Irma Devita menggambarkan akhir perjalanan hidup Letkol Mochammad Sroedji dengan kata-kata deskriptif. Sebuah kata-kata sederhana namun membawa kita membayangkan apa yang dialami beliau diakhir hidupnya. Seorang pejuang tahu betul konsekwensi yang mungkin terjadi padanya. Apalagi melihat situasi di masa itu. Pejuang adalah mereka-mereka yang telah “tercerahkan” dengan sebuah tujuan dan cita-cita luhur demi mewujudkan sebuah bangsa yang merdeka. Toh setelah nyawa berangkat menemui Sang Pencipta maka yang tertinggal adalah tubuh fana yang akan kembali menjadi asal dimana dia diciptakan sebelumnya. Tapi semangat, kehormatan dan perjuangan terhadap tujuan sebuah tujuan mulia seharusnya tetap tinggal dan diwarisi oleh generasi-generasi yang datang setelahnya.

Saya terkadang membayangkan diri terlempar ke masa tahun 1945. Jika saat itu saya adalah orang Indonesia dan berhadapan dengan perang maka apakah yang akan saya lakukan? Apakah saya akan turut berjuang? Apakah saya Cuma sekedar misuh-misuh tentang kemerdekaan tapi ketika tiba waktu berjuang saya bukan orang yang berada di sana? Atau kah saya adalah golongan pencinta penjajah karena telah diberikan banyak kesenangan sebelum datangnya kemerdekaan? Semua hal itu adalah pilihan-pilihan hidup yang ada di masa itu.
Jalan sejarah kemudian memberikan sebuah pemahaman. Dalam situasi yang sulit dan kesusahan ada orang-orang yang rela bangkit untuk berjuang. Walau kadang berkorban harta, keluarga bahkan jiwa raga. Demi sebuah kemerdekaan yang mungkin saja tidak akan sempat mereka nikmati. Sejarah juga mencatat bahwa alam kemerdekaan yang kita nikmati sekarang ini dibangun oleh tetesan darah dan air mata oleh para pejuang.
Kita di masa sekarang pun adalah pejuang yang sama walaupun dalam konteks yang berbeda. Walaupun kebanyakan bukan dalam konteks fisik membawa senjata dan bergerilya. Tapi seorang pejuang dimana pun masanya punya satu kesamaan yaitu keteguhan hati untuk mencapai cita-cita. Sehingga perlu ada sebuah tali-tali penghubung dengan kita di masa sekarang dengan semangat yang berkobar dan cita-cita yang menggerakkan dari masa lalu.
Menulis sejarah adalah jalan sunyi. Tak banyak orang yang melakukannya. Ada banyak data yang harus di gali dan di temukan. Ada banyak sumber yang harus dikejar. Ada banyak tempat yang harus di kunjungi. Namun bagi Irma Devita itu adalah jalan sunyi yang harus dia jalani. Sebuah janji yang ditepati oleh anak yang saat itu berumur 8 tahun kepada neneknya.

Pencarian Irma Devita hingga ke Belanda dan membuka arsip-arsip lama yang terkait dengan Letkol Mochammad Sroedji. Ada banyak arsip yang menyebutkan bahwa Letkol Mochammad Sroedji adalah salah seorang yang paling dicari dimasa itu. Dalam sebuah arsip di temukan bahwa sebagai buronan belanda, kepalanya dihargai 1000 Gulden. Nilai 1000 gulden di masa itu bila di konversi dengan rupiah di masa sekarang sekitar 97.850.000 rupiah. Sebuah godaan yang besar mengingat situasi di masa itu. Menarik untuk ditelisik bahwa siapa yang tergoda untuk mendapatkan hadiah untuk menangkap/melenyapkan Letkol Mochammad Sroedji.
Pagi itu kami bertemu dengan Irma Devita, penulis novel sejarah “Sang Patriot” yang menceritakan tentang sejarah perjuangan Letkol Mochammad Sroedji. Beliau adalah cucu dari Letkol Mochammad Sroedji. Ada beberapa hal menarik yang membuat saya bersemangat menyimak perbincangan pagi itu. Pertama, Walaupun bentuknya adalah novel namun isinya adalah bentangan dari banyak data yang dihimpun dari berbagai sumber, mulai dari wawancara dengan saksi sejarah maupun manuskrip-manuskrip yang di kumpulkan hingga ke Belanda. Kumpulan data ini kemudian divisualisasi dalam bentuk novel dengan gaya penuturan yang sangat humanis.
Kedua, menarik sekali untuk melihat bagaimana tulisan sejarah dibuat. Sebuah genre penulisan yang seperti saya ungkapkan di atas adalah jalan yang sunyi. Sehinga membutuhkan waktu yag cukup untuk belajar,mengumpulkan data dan memvisualisasikan data itu. Ketiga tentu saja adalah kegelisahan. Sebuah fakta yang harus diakui bahwa belajar sejarah tidaklah menjadi hal menarik bagi sebagaian anak muda kita. Padahal secara jumlah anak muda adalah sekitar 45 persen dari polpulasi.
Dalam hal ini Irma Devita mencoba menyalakan lilin dalam kegelapan. Karyanya berupa novel adalah sebuah pintu untuk mengenalkan sejarah. Belakangan dalam perkembangannya muncul pula cerita dalam bentuk komik. Walaupun kemudian bentuk komik ini kemudian sedikit ditanggapi oleh beberapa orang pagi itu karena masih berbentuk jadul. Tapi setidaknya komik dan novel ini adalah sebuah pattern untuk membuka peluang-peluang inovasi yang lebih luas di masa yang akan datang.

Perjuangan sang patriot Letkol Mochammad Sroedji yang menjadi centre point dari buku dan novel ini adalah sebuah hal yang harusnya diteladani. Bagaimana para pejuang dengan gigih dengan segala keterbatasan meneguhkan tekad dan usaha dalam perjuangan. Kalau saat ini anda sedang berada pada titik rendah yang membutuhkan motivasi, cobalah baca buku ini.
apa yang akan saya lakukan kalau saya ada di tahun 1945? saya akan ke tempat peperangan berlangsung lalu live tweet, live stories di IG dan Facebook terus menuliskannya di blog.. 😀
Apa yang akan dilakukan jika berada ditahun 1945? Pastinya 1945 ga secanggih sekarang yah, mungkin jika pada zaman itu ada lambe turah dan ig ig info lebih bagus untuk indonesia bisa dilihat dunia. Tapi sayang tak lahir di zama itu, dan kehaluan diatas tidak akan terjadi ?
Saya pinjam dulu bukunya boleh daeng? karena rencana mau pinjam di Raya tapi belum ada responnya. Penasaranka kenapa sampai harus di hargai segitu mahalnya untuk di bunuh. apa yang sudah di lakukan sampai bisa berpikiran seperti itu.
Jika saya berada di tahun 1945 apa yang akan saya lakukan? Mungkin karena sakarang saya berada di jaman sekarang dimana Indonesia sudah berdeka, saya bisa jawab dengan berani bahwa saya juga akan ikut berperang. Tapi belum tentu di tahun itu saya akan berkata demikian, bisa saja saya bersembuyi karena ketakutan.
Salut dengan pahlawan2 yang telah memperjuangkan Indonesia hingga merdeka.
Jika terlempar kembali ke tahun 1945, mungkin saya akan memilih menjadi jurnalis, bayangkan di zaman itu begitu banyak fakta dan kisah yg harus dituliskan oleh saksi hidup dari berbagai sudut pandang, apalagi sekarang di buku pelajaran sejarah di sekolah gaya penulisanx bukan bergaya fiksi, jadi kadang membosankan, untungnya sekarang ada novel sejarah, jadi kisah yg dituturkan lebih diresapi.
Saya pun kadang berpikir seperti itu… Belum tentu saya berani maju ke medan perang. Apalagi setelah baca akhir hidup dari K
Letkol Soeradji yang sungguh tragis….
Cerita sang Patriot ini cukup menggambarkan sejarah secara nyata ya. Masyarakat perlu banyak2 konsumsi begini, biar tidak buta sejarah.
Membaca sejarah lewat karya sastra memang menarik. Saya selalu suka karya sastra yang berdasarkan sejarah, seperti karya-karya Faisal Oddang dan Leila S. Chudori
Kalau saya ada di tahun 1945, maka sekarang saya pasti sudah tua renta #eh
Tapi buat saya, membaca kisah sejarah adalah sebuah kenikmatan tersendiri. Saya selalu berhasil terbawa ke masa lalu setiap kali membaca kisah-kisah sejarah. Sejarah apapun itu.
Wah jadi bahan renungan juga,kak. Jadi langsung tanya diri sendiri, akankah saya berjuang atau malah jadi teman penjajah. Kenyataannya banyak pahlawan yang rela kehilangan segalanya demi kemerdekaan bangsa, contohnya Letkol Moch. Sroedji yang mati matian perjuangkan daerah jawa timur..
Totalitas Ibu Irma Devita untuk menulis sejarah kakeknya sudah tidak bisa diragukan.. Bahkan sampai pergi Belanda cari informasi tentang Letkol Sroedji.. Mudah-mudahan ada juga orang di Makassar yang bisa menggali sejarah pahlawan lokal..
Terpukau dengan kalimat ini “Menulis sejarah adalah jalan sunyi. Tak banyak orang yang melakukannya. Ada banyak data yang harus di gali dan di temukan. Ada banyak sumber yang harus dikejar. Ada banyak tempat yang harus di kunjungi. ”
Luar bisa yah, janji seorang anak usia 8 tahun pada neneknya itu kini terpenuhi dengan lahirnya “Sang Patriot” salut dengan perjuangan Irma Devita yang berani menempuh jalan sunyi itu.
Kalau saya di tahun mau jadi penulis sejarahnya Letkol Sroedji ini. Supaya bisa bikin buku lebih hebat dari Ibu Irma Devita.