Kemegahan orchestra,gambar yang memukau dan narasi yang kuat adalah perpaduan yang begitu harmonis dalam menggambarkan hasrat, harapan dan mimpi-mimpi manusia dalam interaksi dengan gunung. Mountain bukan hanya memukau tapi juga meninggalkan sebuah pertanyaan yang mendalam dibenak penontonnya. Untuk apa semua ini?
Film ini dirilis di tahun 2017 dan saya tidak begitu yakin tayang di Indonesia. Harus diakui segmentasi film dokumenter belum terlalu memiliki banyak peminat jika dibanding dengan jenis film lain. Saya agak lupa kapan terakhir menyaksikan film dokumenter di bioskop. Seingat saya terakhir menonton film dokumenter di bioskop, kursi hanya diisi oleh tiga orang penonton.
Baca: Demi rindu kukayuh sepeda hingga ke kampung
Lalu mulailah penaklukan itu dimulai. Dengan memanfaatkan pengetahuan dan tekhnologi kita mulai mencari tempat-tempat yang tertinggi dan terjauh. Tempat-tempat yang membuat rasa aman yang telah kita ciptakan terusik. Setelah puncak Everest dijelajahi, semakin banyak gunung yang kita datangi bahkan kadang diubah sesuai dengan yang kita mau.

Film ini dibuat dalam arahan Jennifer Peedom yang sebelumnya membuat film dokumenter Sherpa – Nominasi Bafta 2015. Berbeda dengan Sherpa yang merupakan kritik terhadap exploitasi Gunung Everest di mana pemandu lokal mengambil risiko yang tidak sepadan untuk orang asing yang kaya dalam mencari sensasi, Mountain adalah sebuah penghargaan kepada para petualang yang hebat yang rela mempertaruhkan nyawa mereka dengan mendaki gunung-gunung tertinggi di dunia. Mengeksplorasi ketertarikan umat manusia dengan menaklukkan puncak sambil mendesak kita untuk lebih menghargai tempat-tempat tersebut.
Film ini terdiri dari lebih dari 2.000 jam rekaman cuplikan yang diambil di 15 negara yang kemudian dikemas menjadi durasi selama 74 menit, Mountain memainkan adrenalin, memberikan ketegangan dan kekaguman perjalanan ke puncak-puncak dunia. Renan Ozturk, sinematografer yang juga berperan besar dalam Sherpa, kembali berada di belakang kamera. Arsip rumah produksi Kanada Sherpas Cinema juga melengkapi film ini, dengan gambar-gambar yang menakjubkan dari pencinta olahraga ketinggian. Film ini banyak menghadirkan gambar yang indah. Sebagai sinematografer utama, Renan Ozturk menghadirkan visual yang menawan, menakjubkan, dan kadang-kadang mengerikan.
Penulis buku Mountains of the Mind – Robert Macfarlane memberikan setuhan yang sangat baik dalam naskah film ini. Macfarlane menyadur ulang bukunya setebal 306 halaman menjadi narasi-narasi pendek yang sarat akan makna. Narasi film dibacakan oleh Willem Dafoe yang bersuara berat dan puitis memberikan pesona yang memukau. Narasi yang diberikan kepada Willem Dafoe ini sengaja dibuat sedikit, sehingga memberi ruang bagi penonton untuk menyerapi dan merenungi maknanya. Seperti halnya dengan film dokumenternya yang lain, Sherpa, Peedom tidak ingin memberikan sebuah kesimpulan. Sebuah hal yang lebih penting yaitu pertanyaan. Dia memberi waktu bagi penonton untuk merenungkan pertanyaan-pertanyaan ini, memberi mereka kesempatan untuk melihatnya melalui kaca mata dan pemikirannya masing-masing.
Musik adalah salah satu elemen yang krusial dalam film ini. Harmoni Australian Chamber Orchestra yang dipimpin oleh Richard Tognetti, Rasa kagum, sedih dan gelisah membawa penonton dalam perjalanan emosional yang naik turun seperti visual yang ditampilkan dilayar. Sentuhan-sentuhan musik klasik begitu harmonis dalam menyatukan setiap potongan gambar.

Kekuatan aneh apa yang menarik kita ke atas puncak ini?
Ketika kehidupan sehari-hari menjadi lebih aman bagi sebagian orang, kami mencari bahaya di tempat lain
Kamu tidak pernah merasa begitu hidup mengetahui bahwa setiap saat kamu bisa mati
Mountain menyajikan sebuah pertanyaan “Mengapa?” dengan baik. Alih-alih memberikan jawaban yang pasti, film ini juga memancing benak penonton membuat pertanyaan mereka sendiri. Walau seolah-olah film ini berkisah tentang geografis pegunungan, Mountain juga mengugah rasa kita sebagai manusia. Mengungkapkan tindakan kita di gunung apakah sebagai bentuk dari kesombongan atau kegilaan, ataukah kemuliaan.

Mountain memberikan sebuah pengalaman menonton yang berbeda dengan harapan setiap orang bisa mengambil pelajaran. Bagi para pecinta gunung ,film ini adalah inspirasi. Bagi mereka yang bukan pecinta gunung setidaknya akan memberikan pemahaman yang lebih besar tentang motif yang mendorong penikmat bahaya ini.
Dengan semua keindahan yang di perlihatkannya. Saya tetep yakin, bahwa untuk merasakan semua sensasinya film ini seharusnya ditonton dilayar besar seperti bioskop.
Inilah salah satu kegiatan yang belum pernah saya rasakan yaitu naik gunung..Katanya teman, kalau naik gunung itu Indahnya di puncak..memang Bagus sih liat foto teman-teman di puncak gunung ..Namun harus melalui rintangan yang berat dan itu dia tadi malah nyawa jadi taruhannnya.. Paling tinggi saya itu naik bukit yang ada di Kampung ji. Itu saja ngos2an mi naik bukit.. Hehe
saya sudah nonton Sherpa dan memang keren film itu. sepertinya harus tonton Mountain ini. di mana bisa ditonton ini?
Bagi orang2 yang tidak suka naik gunung, sering muncul pertanyaan, ngapain pergi baik gunung, kasi capek2 diri. Samapai di puncak tidur tidak tenang, makan tidak enak.
Padahal dibalik ada kepuasaan tersendiri
Baca baca tulisan nya kak adda kebanhakan tentang gunung. emang mood boosternya kak adda sepertinya ~
Btw pertama kali naik gunung dimana kak? Mungkin nanti boleh tulis tentang itu jadi oenasaran juga kek gimana
Begini-begini saya juga pernah naik gunung, Waktu muda tapinya, hehehe…
Gunung Bulusaraung adalah gunung pertama dan terakhir yang saya daki, karena pulangnya saya ditandu.
Oh yah saya juga suka nonton film dokumenter, semacam menonton sejarah.
saya paling takutka naik gunung kak, banyak penyebabnya, salah satunya itu takutka tidak mamou sampai dipuncak, jadi setiap saya liat uploadtannya temanku lagi naik gunung deh luar biasa memang hidupnya.
dari dulu hal yang paling ku inginkan adalah naik gunung tapi gak pernah tercapai. Masih selalu takut, tapi pengen sekali suatu hari bisa merasakan atmosfere itu.
Salah satu keinginan saya waktu kuliah dulu adalah ikut Mapala dan naik gunung. Tapi nda diizinkan sama Bapak. 🙁
Sama pertanyaanku dengan kak Anchu, di mana bisa ditonton ini film?
Jadi pengen diajak naik gunung, minimal ke puncak Bogor aja gitu. Hehehe.. Pak Suami bakal baca kode keras saya ini gak ya. Hihihi..
film yg mengajak kita lebih dekat dengan alam.. jika musik menjadi sebuah elemen penting dalam di film ini, tentunya akan makin menjadikannya tontonan yg semakin menarik dan bikin saya makin penasaran mau nonton bareng suami ?
Baru mau tanya, bagaimana caranya kalau mau nonton film ini? Eh jawabannya sudah nongol duluan di WAG. Ihik.
Tertarik k’ nonton film begini. Film-film naik gunung, macam Everest. Eh tapi 5cm ndak pernah k’ nonton hahhaha. Nonton filmnya saja dulu, maklum…belum sanggup naik gunung. Tinggalnya saja yang di Lombok, tapi Gunung Rinjani baru bisa didada-dadai dari jauh. Huhuhu
katanya kaalau kita sudah naik gunugn sama siapa gitu kita akan jadi partner sejatinya hehehe
saya blum pernah rasakan mendaki begini tapi selalu suka kalau ada foto2nya orang mendaki apalagi videonya, berkesan “mewah” karena diambilnya penuh perjuangan
Selalu excited klo ada orang yang mau mendaki gunung. Karena saya mau skaaali juga kodong ikut2 bgtu, tp apalah daya.. tak pernah dapat izin.
Saya Tim pantai sebenarnya, bukan tum gunung. Nda sanggupka berposo-poso ria mendaki gunung lalu berposo-poso lagi saat turun. Tapi baca ulasan ini kok Ada semacam ketertarikan menantang diri sendiri ?