Hari menjelang siang dan rasanya seperti melihat fatamorgana. Udara yang panas berpadu dengan kelelahan yang mengggerogoti tubuh. Seluruh sel dalam tubuh terasa berteriak memohon untuk berhenti. Namun satu titik dalam fikiran berkata tidak! Terus bergerak! Terus bertahan! Tujuan kita sudah dekat! Setiap kali menapaki jalan menanjak, harapan untuk menemukan bagian jalan yang datar ataupun turunan terus bergelora. Paha dan betis saya mengeras. Rasanya seperti ada tikus kecil yang berlarian di sana. Empat belas kilometer terakhir menuju Malino sepertinya tidak menyisakan sedikit pun ruang untuk menghela napas.
Saya lupa kapan tepatnya. Kemungkinan medio tahun 2014 atau awal tahun 2015. Kala itu perusahaan tempat saya bekerja akan mengadakan gathering di Kota Malino. Saya saat itu sedang dalam fase awal-awal menyenangi kembali olahraga bersepeda. Beberapa minggu sebelumnya, seorang teman menawarkan diri untuk membeli sepeda yang biasa saya pakai ke kantor. Gayung bersambut, kebetulan saat itu sedang menabung untuk membeli sebuah sepeda jenis Road bike. Singkat cerita, akhirnya saya bisa memiliki sepeda road bike untuk pertama kalinya.
Sepeda road bike menawarkan kecepatan dan kelincahan lebih dari jenis sepeda yang saya pakai sebelumnya. Setidaknya begitulah kata beberapa review yang pernah saya baca. Hal ini membuat saya ingin mencoba merasakan sensasi tersebut. Ketika ada sebuah momen untuk mencobanya, saya tidak berfikir dua kali.
Hujan baru saja turun meninggalkan butir- butir kecil di pucuk dedaunan. Rencana pagi itu berangkat menuju kota Malino terpaksa ikut mundur. Malam sebelumnya saya sudah menitipkan barang-barang bawaan ke teman-teman yang rencananya akan berangkat sekitar pukul 11 siang. Untuk perjalanan, saya memasukkan perlengkapan yang dibutuhkan kedalam sebuah tas punggung kecil.
Hujan akhirnya mereda dan perjalanan menuju Malino pun dimulai. Saya menempuh jalur Patalassang dan kemudian berbelok sampai menemui jalan besar Poros Malino di daerah Pakatto. Sebuah kawasan militer. Kontur jalan mulai turun naik. Saya berusaha mengatur tenaga dengan baik karena perjalanan 73 km akan didominasi oleh tanjakan. Tanjakan panjang pertama dimulai dari pendakian sampai dengan gerbang bendungan Bili-Bili.

Nama Malino sebenarnya adalah nama sungai yang berhulu di Lapparak- sebuah nama kampung yang dalam bahasa Makassar berarti datar. Tempat ini adalah satu-satu bagian yang datar di antara gunung-gunung yang berdiri kokoh. Malino berjarak sekitar 73 km dari kota Makassar dikenal sebagai kota peristirahatan yang sejuk dan nyaman sejak zaman penjajahan Belanda. Adalah Gubernur Caron yang memerintah di “Celebes on Onderhorighodon” telah menjadikan Malino pada tahun 1927 sebagai tempat peristirahatan bagi para pegawai pemerintah.

Sungai Malino airnya amat tenang seolah-olah memberikan ketenangan dan kesejukan di hati, sesuai dengan namanya Malino yang artinya amat tenang. Malino yang dibangun oleh pemerintah Belanda sesuai tempat peristirahatan, memiliki hawa yang sejuk segar bahkan kadang kala terasa cukup dingin dengan ketenangan. Keadaan alam dan lingkungan yang demikian itu sangat cocok kiranya apabila tempat ini diberi nama Malino. Sejak itulah Lapparak berubah nama menjadi Malino yang artinya amat tenang.

Kebijakan pemerintah Belanda saat itu adalah memberi kesempatan pada orang asing baik Belanda maupun Cina untuk membangun bungalow atau villa. Sedang penduduk setempat dilarang mendirikan rumah. Rumah rakyat digeser masuk ke hutan atau lereng gunung, kecuali di sekitar pasar. Pada masa pemerintahan Jepang, Malino yang tanahnya subur menjadi daerah penghasil sayur mayur untuk menutupi kebutuhan sayur para serdadu dan pekerja Jepang.

Malino memiliki gunung-gunung yang sangat kaya dengan pemandangan batu gamping dan pinus. Berbagai jenis tanaman tropis yang indah,tumbuh dan berkembang di kota yang dingin ini. Selain itu, Malino pun menghasilkan buah-buahan dan sayuran khas yang tumbuh di lereng gunung Bawakaraeng. Sebagian masyarakat Sulawesi Selatan masih mengkulturkan gunung itu sebagai tempat suci dan keramat. Suhu di kota Malino ini mulai dari 10°C sampai 26°C.
Perjalanan menuju Malino kebanyakan menyusuri aliran Sungai Jeneberang. Sungai ini menjadi galian tambang batu dimana alirannya berujung ke sebuah bendungan bernama Bili-Bili. Rute perjalanan hanya ada satu poros jalan yaitu dari Makassar menuju ke Malino hingga ke arah Sinjai. Jalan ini merupakan rute yang di bangun setelah sebelumnya rute yang lama di tenggelamkan karena Pembangunan Bendungan Bili- Bili.
Perjalanan dihiasi dengan pemandangan perbukitan yang tegak menjulang di kiri jalan dan lembah melandai di kanan jalan. Semakin dekat dengan Malino, semakin tinggi tikungan yang dilalui. Terutama di kilometer-kilometer terakhir.Nyaris lima belas kilometer terakhir tidak menyisakan bagian jalan yang datar. Kaki saya mulai kram.
Hari itu adalah untuk pertama kalinya saya bersepeda ke Malino. Keram, pegal, lelah silih berganti datang. Tidak ada yang menyenangkan dari semua rasa tidak menyenangkan itu. Namun sebuah titik dalam fikiran, memaksa untuk terus berjalan. Dalam titik itu, saya mulai berfikir apakah saya seorang masokis? Orang yang menyenangi penyiksaan atau semacamnya.
Saya teringat sebuah artikel yang ditulis oleh Mark Jenkins (penulis dan juga petualang) yang berjudul “Titik Penentuan” dalam National Geograpic edisi September 2015. Sebuah artikel yang yang membahas orang-orang yang berbicara lembut seperti Buddha namun memiliki ego yang besar. Orang tanpa ego tak mungkin mau mengambil resiko dan menderita berkepanjangan. Mereka sejatinya adalah orang narsis yang berambisi, gigih dan masokhis. Saya sejatinya sama sekali belum mencapai level seperti itu. Mungkin saat itu saya hanyalah orang dengan ego besar yang tidak ingin menyesal seterusnya karena tidak menyelesaikan sebuah perjalanan.
Setelah berkali-kali berhenti untuk meredakan sakit yang melanda paha dan betis. Akhirnya, hawa dingin nan sejuk mulai menerpa. Kumpulan tegakan pinus (Pinus merkusii) di ketinggian 1.000 meter di-atas-permukaan-laut menyambut kedatangan di Malino.

Panggilan dari gunung
Turun ke Lembah-lembah
Suara Iwan Fals terdengar merdu dari pemutar mp3 yang saya selipkan di kantong belakang. Begitu damai. Begitu Indah.
saya ndak pernah membayangkan bisa bersepeda ke Malino. baru kepikiran saja sudah ngos-ngosan.. tapi mungkin beda kalau ada latihan lama dulu dih om..
saya suka ini ” Orang tanpa ego tak mungkin mau mengambil resiko dan menderita berkepanjangan”
kadang sy pikir bahwa ego ini semacam hidayah, menuntun kita utk tetap menjadi keras kepala menuju titik yang kita inginkan.
bersepeda, adalah salah satu metode untuk menggali atau merawat ego kita. keren sharingnya kak Adda
Masokis hahahahahha.. Gila kak, naik mobil atau naik motor saja capek banget loh kalau saya haha. Ini naik sepeda buset. Saya beli sepeda tahun lalu dan bisa dihitung jari berapa kali menggunakan sepeda itu. Benar2 butuh motivasi saya ini
Saya pun tiba pada sebuah rasa penasaran. Seberapa keras sih betisnya Daeng Adda? Selalu greget membaca tiap petualangannya Daeng Adda.
Kebijakan pemerintah Belanda saat itu adalah memberi kesempatan pada orang asing baik Belanda maupun Cina untuk membangun bungalow atau villa.
Baru ka’ tahu ini.
Kerennya tulisan ta’, bagaimana kita’ meriset semua datanya? Kalau saya mungkin hanya akan menulis pengalaman perjalananannya saja 😀
Satu-satunya kendaraan yang bisa saya bawa adalah sepeda. Bisa saya angkat maksudnya, ingat sepeda anak saya yang ringan sehingga bisa dipindahkan tanpa harus mengayuhnya, hehehe….
yang jelas dapatma lagi satu sumber informasi tentang Daeng Adda, jago bersepeda, teguh memegang prinsip dan tidak mudah putus asa sekalipun betis dan pahanya telah “mengeluh”
Saya percaya bahwa sesuatu yang diraih dengan perjuangan berat hasilnya juga akan sangat menyenangkan. Jauh daripada hasil dari sesuatu yang didapat dengan cara biasa.
Masokis atau bukan, yang jelas pengalamannya sudah sangat berharga bukan?
Sungguh Daeng Adda aeorwng Pasepeda tangguh yang bisa menanjak sampai Malino..Naik motor saja biasa sakit belakang..apa lagi kalau naik Sepeda..
Kalau saya ngakuma,,paling saya pernah naik sepeda ke anjungan ajha..sepeda santai..
Wah kuat banget bersepeda sejauh itu. Saya boro-boro satu kilo, 500 meter saja sudah KO -_-
Salut kak.
Kapan2 ajak sy juga om, kira butuh modal brpaan klo mau bgini2an hahaha
Menantang sekali ya daeng, ke Malino naik sepeda gitu, tapi yah ke Sidrap aja bisa ditempuh pake sepeda apalagi ke Malino yang jaraknya tidak begitu jauh dari Kota Makassar.
Btw baca postingan ini saja kangen sama Malino, sudah lama tidak menginjakkan kaki di sana
Deh..kuatnya ke Malino naik sepeda. Naik mobil saja saya sering kebayang bagaimana seandainya mobilnya melorot eh merosot, karena ndak kuat nanjak. Hahahha
BTW di Balikpapan saya sering juga lihat orang bersepeda. Padahal tahu kan yaa bagaimana naik turunnya di sana terjal macam apa. Hmm..sepertinya harus sepeda bergigi itu dipakai.
1 hari sebelum genap 9 bulan setelah tulisan ini terbit.
kita nantikan, apakah akan ada tulisan baru setelah ini?