Berdiri di puncak bukit sembari menyaksikan hamparan hijau area pesawahan adalah momen yang indah. Meresapi pesona indahnya Papareang dan gunung-gunung di selatan jazirah sulawesi. Melihat dari jauh Kota Makassar yang terlihat syahdu. Memandangi kota yang berpagar laut biru dan gunung tinggi. Pemandangan indah adalah sebuah hadiah istimewa setelah menggapai puncak.

Medan yang mendaki dan tinggi adalah ujian semangat dan fisik untuk tetap tabah mengayuh sepeda
Hujan membasahi dan waktu subuh pun datang, cuaca dingin merayu-rayu untuk tidur kembali. Rayuan bantal dan selimut yang hangat bukan hal mudah untuk ditolak. Bangun! Saya mencoba menguatkan hati.
Hari ini saya dan beberapa teman berencana akan bersepeda kearah tenggara Makassar. Rencana perjalanan sekitar 50 kilometer memutari pinggiran Makassar dan akan diakhiri dengan latihan berenang. Matahari baru saja terbit ketika roda-roda sepeda mulai menjejak jalan raya. Walau kami hanya berempat namun dalam perjalanan tidaklah terasa sepi. Dalam perjalanan juga kami berpapasan dengan beberapa komunitas sepeda.

Salah satu momen pertama ketika sampai di Papareang
Nama Pappareang memang terdengar asing. Padahal daerah ini letaknya hanya sekitar 25 km dari kota Makassar. Tapi tawaran keindahan yang diberikan sama sekali tak seasing namanya. Dari atas bukit, kami bisa melihat kota Makassar. Kota yang sibuk namun di atas bukit terlihat indah dan syahdu. Jajaran pegunungan menjadi pagar tinggi kawasan ini. Ketika kami menuruni bukitnya kembali kami di manjakan oleh pemandangan indah yang lain. Padang Savana . Yup! saya tidak salah menuliskannya. Padang Savana lengkap dengan hewan gembalanya. Bersepeda di tengah dataran penuh rumput dan hewan tenak sambil membayangkan diri menjadi cowboy di wild west.

Menikmati Padang Savana di sore hari
“Siapapun yang bisa menaiki tanjakan ini sampai di puncak tanpa berhenti, silahkan ambil helm dan sepeda saya” tantang Kang Dani pada momen pertama kali dulu kami menaiki bukit ini.
Sebuah tanjakan yang cukup tinggi dan panjang terbentang. Belakangan saya baru tahu kalo pesepeda yang menyebut tempat ini sebagai tanjakan cinta. Rasanya ingin menyerah dan terjatuh saja pada saat melewatinya namun setelah pulang ada kerinduan untuk kembali pulang lagi mencobanya. Shifter – tuas pemindah gigi belakang pun berbunyi dan perburuan hadiah di mulai. Satu per satu teman-teman pun berhenti. Dengan napas yang terengah- engah melanjutkan perjalanan dengan mendorong sepeda ke puncak bukit.
Akhirnya tak satu pun diantara kami yang berhasil. Namun pemandangan di atas bukit mengobati kelelahan. Sebuah harga yang pantas untuk perjuangan menaiki bukit ini. Pantas saja di namakan tanjakan cinta. Mirip-mirip kisah cinta yang perlu di perjuangkan agar beroleh kisah yang indah.
Kadang tak perlu jauh sampai ke Raja Ampat atau Pulau Sabang untuk melihat keindahan. Tempat itu indah kadang tak jauh dari rumah
kadang memang kita suka tergoda melihat jauh ke seberang, memuji keindahan yang nampak di sana tapi lupa kalau di dekat kita ada juga yang tak kalah indahnya.
seperti pria yang selalu memuja janda muda di rumah depan, padahal di dalam kamarnya ada istri yang tak kalah cantiknya.
Tanjakan yang layaknya cinta yaa.. Penuh perjuangan untuk mencapai puncak keindahan. Seperti biasa selaluka takjub liat pemandangan ?
mencari keindahan tak perlu jauh-jauh yah, Om.. di sekitar kita ternyata ada banyak.. Om, minta petunjuk arah ke sana yang lebih lengkap dong.
Kalau saya yang naik sepeda melewati tanjakan itu mungkin tidak sampai-sampai pi, wkwwkwk butuh pertolongan untuk sampai 😀
Luar biasa petualangannya kak. Tempat yang bagus merebahkan badan memandang lautan bintang di malam hari.
Dengar-dengar cerita teman yang sudah ke Rinjani, katanya untuk mencapai puncak itu harus melewati bukit penyesalan. Bukit yang kalau kita jalan di atasnya itu, maju selangkah bakal disusul dengan merosot tiga langkah. Begitu terus, sampai bikin gemas karena ini kok ndak sampai sampai?
Mungkin selelah itu juga perjalanan tanjakan yang Om Adda lalui ini ya?
Kalimat penutupnya nyes banget pak ?.
Tempat indah tak jauh dari rumah, uwuwuw… Betull banget godaan bantal dan selimut hangat itu susah sekali ditolaknya, saya jarang bisa menolaknya. Masyallah memang perjuangan ke puncak di, tapi pemandangannya ituloh membuat semuanya tidak sia-sia.
Foto pertamanya bikin salah fokus, kak. #eh. Ini di daerah manakah? Keren pemandangannya. Tapi nda mauja naik sepeda ke sana.